Wanita

Istri Bupati Muara Enim Raih Gelar Doktor

MUARA ENIM – Dr. Hj Shinta Paramita Sari, SH MHum (44), Istri Bupati Muara Enim meraih Gelar Doktor (S3) Bidang Hukum Pidana.

Bagi Shinta, jenjang pendidikan diraih bukan hanya untuk mencari gelar semata, tetapi bisa memberikan sumbangsih dan manfaat bagi warga Muara Enim.

Sebagai istri orang nomor satu di Kabupaten Muara Enim tidak membuat Hj Shinta mengabaikan bidang pendidikan. Faktor usia juga tidak menjadi halangan untuk meneruskan jenjang ke pendidikan strata tiga.

Dia pun meraih gelar Doktor dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, dalam ujian Disertasi, pada 15 Januari 2016 lalu. Usai kepulangannya dari Bandung, Shinta merasa tidak ada yang berubah dari dirinya.

Shinta pun selalu “merendah” jika disinggung atas gelar Doktor-nya tersebut. “Ah, biasa aja. Pendidikan itu merupakan suatu kewajiban menuntut ilmu, dan saya berharap ilmu yang saya pelajari terus bisa diaplikasikan untuk kepentingan warga,” terang Shinta.

Wanita yang rambutnya sebagian beruban ini mengaku, gelar yang diraihnya ini merupakan sebuah janji. Ya, sebuah janji dirinya kepada orang tuanya dahulu.

Foto DR. Hj Shinta Paramita Sari,SH.M.Hum
Foto DR. Hj Shinta Paramita Sari,SH.M.Hum

“Saya dulu menikah muda di umur 18 tahun. Tapi saya berjanji, walau nikah muda, saya akan melanjutkan pendidikan sampai S3, dan janji itu sudah saya tunaikan,” kenang Shinta.

Dulu, waktu memutuskan nikah muda, kedua orang tuanya mengatakan pada Shinta jangan sampai menyesal menikah muda. “Ternyata langkah saya itu sudah tepat, dan secara bertahap akhirnya bisa sampai raih gelar Doktor,” jelasnya.

Saat ini Shinta tercatat sebagai PNS di Muara Enim, dan sebagai dosen di Akademi Kebidanan (Akbid) Muara Enim dan STIH (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum) Serasan, Muara Enim.

Shinta sebelumnya setelah menamatkan pendidikan S1 Hukum di STIH Serasan Muara Enim. Dulu dia sempat magang di kantor Kejaksaan Negeri Muara Enim dan pernah mengajar di SMAN 2 Muara Enim.

Kepada Wartawan Sumatera Ekspres, Shinta tidak terlalau mau gembar-gembor perihal gelar dan kehidupan pribadinya. Namun ditanya seputar Disertasi gelar Doktor-nya, Shinta sangat antusias.

Dalam Disertasi-nya, dia mengambil judul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Pertambangan Dalam Kawasan Hutan”

Saat menjalani ujian Disertasi, Shinta merasa sempat gugup karena tim penguji terdiri dari para guru besar ilmu hukum dengan gelar Profesor.

Tim pengujinya ialah Prof Romli Atmasasmita, Prof Komariah, Prof I Gede Panca Astawa, Prof Mien Rukmini, Prof Daud Silalahi, Prof Huala Adolf, Prof Mahfud Arifin, dan Dr Sigid Suseno.

“Ya awalnya sempat guguplah, di hadapan para profesor, tapi mengalir saja, saya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para guru besar,”

Dalam Disertasinya itu, Shinta mendapat penilaian “Sangat Memuaskan” tanpa merinci nilai yang didapatkannya itu.

Menurutnya, inti dari Disertasinya itu berawal dari keprihatinan dalam praktik peradilan di Indonesia.

Sebab, selama ini jika ada korporasi di bidang Pertambangan yang melakukan tindak pidana beroperasi tanpa izin dan merusak hutan, maka yang dipidana hanyalah para pengurus perusahaan saja.

Sedangkan Korporasi-nya tidak pidana. Ini berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yakni jika ada korporasi yang  masih ditujukan kepada pengurus sebagai representasi dari korporasi, sedangkan korporasinya tidak dipidana.

“Aturan ini jelas tidak adil. Sebab kalau hanya pengurus yang dipidana, perusahaan bisa mengganti dengan pengurus lain. Semestinya korporasi juga bisa dipidana,” jelasnya.

Namun lanjut Shinta, untuk mendudukan korporasi sebagai pelaku ternyata menemui kesulitan terutama pembuktian sifat melawan hukum. Apalagi kekeliruan dalam membuktikan kesalahan pada korporasi dapat berakibat terdakwa diputus bebas (vrijspraak) oleh pengadilan.

Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang pertambangan batubara dalam kawasan hutan tanpa izin tertuang dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tapi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 112 huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

“Akan tetapi, kebijakan regulatif yang baru ini hanya terbatas kepada tindak pidana pembalakan liar,” Sedangkan perbuatan pertambangan batubara dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak termasuk dalam ketentuan ini.

Dalam praktik, penuntutan selalu ditujukan kepada pengurus sebagai representasi korporasi sehingga hanya pengurusnya saja yang dijatuhi pidana.

Sementara dampak dilihat dari dampak yang ditimbulkan akibat perbuatan korporasi sudah terjadi sedemikian rupa dan telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan lingkungan, bahkan berpotensi mengancam jiwa dan harta benda masyarakat yang bermukim di sekitar tambang.

Kelemahan pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam perundang-undangan tersebut menjadi kendala bagi penegak hukum di Indonesia untuk melakukan penuntutan dan menjatuhkan pidana kepada korporasi sebagai pelaku tindak pidana pertambangan batubara dalam kawasan hutan. “Oleh karena itu sistem pertanggungjawaban pidana korporasi seyogyanya tidak lagi bersifat kumulatif-alternatif, akan tetapi bersifat kumulatif, sehingga korporasi dapat dipertanggungjawaban secara pidana,” tukasnya. (Amr)

Tampilkan lebih banyak

Artikel terkait

Tinggalkan Komentar dan Diskusi Disini

Silahkan berkomentar dan berdiskusi. Bebas, namun tetap beretika. Diskusi atau komentar hendaknya masih berkaitan dengan artikel mengenai "Istri Bupati Muara Enim Raih Gelar Doktor". Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda! Klik tombol DISKUSI dibawah.

Back to top button
error: Content is protected !!