Indocina Sebabkan Komoditi Karet Tak Lagi Menjanjikan

MUARA ENIM – Sudah sekitar tiga tahun terakhir para petani karet di Muara Enim tak lagi merasakan manisnya tetesan getah karet yang mereka sadap. Hal tersebut lantaran harga jual komoditi andalan itu tidak juga beranjak naik.
Para petani karet di Desa Ujanmas, Kecamatan Ujanmas misalnya, mengaku tak tahu harus berbuat apa. Soalnya harga karet yang dinilai sangat rendah ini menyulitkan mereka untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
“Kami bingung mau bagaimana, harga karet terus turun. Sedangkan harga kebutuhan hidup selalu naik. Bayangkan saja, saat ini harga karet cuma Rp 5 ribu per kg. Dalam seminggu getah karet yang dikumpulkan hanya sekitar 80 kg,” ujar Solihun (42) warga Budi Karya, Desa Ujan Mas Baru, Sabtu (9/1).
Namun demikian, Solihun tidak punya pilihan lain kecuali tetap menjalani pekerjaan tersebut. “Mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap dijalani, sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga untuk terus bisa menafkahi anak istri seperti apapun kondisinya,” ungkapnya.

Di tempat lainnya, Warsito (38) warga Desa Panang Jaya, Kecamatan Gunung Megang, mengakui hal serupa, menurut dia, terpuruknya harga karet akhir-akhir ini cukup membuat kelimpungan. Pasalnya, selain produksi gerah karet yang tidak menentu pengaruh kemarau panjang, hasil yang di dapat pun harus dibagi dua dengan pemilik kebun.
“Sebulan pendapatan sekitar Rp 2,5 juta, tapi itu belum bersih karena harus bagi dua dengan pemilik lahan. Dengan uang sekitar Rp 1,2 juta sebulan, cukup apa sekarang. Anak-anak mau sekolah, kebutuhan pokok harus selalu ada, belum lagi ada kebutuhan yang tidak diduga. Tapi mau gimana lagi,” keluhnya.
Atas kondisi yang memberatkan ini, para petani hanya berharap, pemerintah segera memberikan solusi terbaik bagi mereka, sehingga hasil kerja kerasnya dihargai setimpal. “Semoga saja dalam waktu dekat harga karet bisa kembali normal seperti 4 tahun yang lalu. Dimana cukup membuat kami sejahtera,” harap dia.
Sementara itu, turunnya harga karet dan produksi para petani akibat kemarau, tidak hanya dirasakan petani saja, para tengkulak pun mengklaim terkena imbasnya.
“Memang petani karet yang menjual hasil sadapannya sudah beberapa bulan ini menurun, biasanya setiap hari ada saja petani yang jual karet, tapi saat ini tidak lagi. Bahkan terkadang satu minggu tak lebih dari 100 kg,” ungkap tengkulak yang tak mau menyebutkan namanya tersebut.
“Untuk harga, kita beli Rp 5 ribu/kg, disesuaikan dengan harga pabriknya. Soalnya kita juga butuh transportasi, upah bongkar muat pegawai dan lain sebagainya,” ujarnya.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan melalui Kabid Perdagangan Kabupaten Muara Enim, Ansori BSc mengatakan, tumbuhnya negara produsen karet baru seperti Vietnam, Myanmar, Kamboja dan Laos, yang disebut Indocina ini menjadi salah satu sebab turunnya harga jual karet di Indonesia.
“Mereka (Indocina, red) telah membuat suatu rekayasa genitika karet. Kalau dulu ada jambu bangkok dan buah bangkok lainnya. Sekarang ada juga karet bangkok yang direkayasa, karet bangkok ini tingkat pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan karet normal pada umumnya,” jelasnya.
Disamping itu lanjut dia, Indonesia, Malaysia dan Thailand, yang tergabung di dalam International Tripartit Rubber Cooperation (ITRC), yang selama ini menghasilkan karet terbesar di dunia, tak lagi bisa menentukan harga, lantaran tumbuhnya produsen Indocina tersebut.
Di sisi lain, pihaknya pun mengaku tidak tinggal diam, soalnya tetap fokus dengan hilirisasi sebagai upaya mendongkrak harga jual, seperti menjajaki kerja sama olahan karet. (amr)